Saturday, July 30, 2016

Kimiasutra di Simposium Antropologi UI



Kamis, 28 Juli 2016

"Wah, menarik sekali Pak. Bapak lulusan mana?"

"ITB... Jurusan Kimia"

-bengong-

"Kenapa Pak? Jarang orang ITB kesini ya?" :D

Ya maklum, saya sedang berada di FISIP Universitas Indonesia, jurusan Antropologi pulak, yang hampir tidak pernah bersentuhan dengan ilmu kimia. Ah, masak sih? Kalo nggak ada hubungan dengan kimia, ngapain saya disini?

Saya diundang oleh Raymond Michael Menot, seorang staf pengajar Antropologi, untuk membawakan tema Fermentasi Nusantara dalam Simposium International Jurnal Arkeologi Indonesia. Memang salah satu topik dari panel kali ini adalah mengenai budaya minum. Karena Kimiasutra pernah mengadakan seminar fermentasi yang merupakan dasar pembuatan minuman tradisional, saya diundang membawakan paper yang sama disini.

Saya memulai presentasi dengan menyatakan kekaguman saya pada rekan-rekan antropologi. "Saya mempelajari alam, dan alam itu konsisten. CO2+H2O = H2CO3, berlaku baik di bumi maupun Mars. Tetapi Anda belajar manusia, yang tidak konsisten, suka berubah, dan tidak konstan" kata saya, disambut senyum simpul hadirin!

Ternyata, banyak sekali simpul tersambung antara kimia dan antropologi! Karena antropologi mempelajari mitos dan perilaku - misalnya mengapa ada kepercayaan membuat peuyeum tidak boleh pada masa haid - sementara kimia memberikan penjelasan atas hal itu secara ilmiah. Proses fermentasi yang sarat akan mitos dan kepercayaan, bertemu ilmu kimia yang memberikan penjelasan yang kelihatannya lebih logis (kelihatannya doang hahaha). 

Melihat beberapa penelitian antropologi, saya terkejut melihat ada minuman yang namanya 'Lapen' di Yogyakarta dimana bahan dasarnya adalah 'alkohol medis'. Saya langsung memberikan peringatan jelas, bahwa yang namanya minum alkohol medis (obat luka), autan, cat tembok, dan racun lainnya, apapun namanya - harus DILENYAPKAN dari bumi Indonesia. Karena itu racun! Kalo mau minum alkohol, buatlah dengan cara  yang sehat, alami, yakni dengan fermentasi buah! Kalau mau tau caranya, kontak kami. Tapi jangan sekali-kali minum Autan! Nyamuk aja mati, apalagi Anda!

Dan ingat bahwa minuman tradisional dan oplosan itu berbeda. Oplosan jahat, minuman tradisional tidak. Karena oplosan - dari bahasa Jerman auflösen atau mengencerkan - artinya curang, menambahkan alkohol 'sintetik' pada alkohol alami. Itulah sebabnya hanya oplosan yang bisa membuat orang mati setelah minum karena keracunan. Sementara minuman fermentasi tradisional boleh2 saja asal dibuat dengan cara benar.

Dalam paper juga dibahas bagaimana proses pembuatan alkohol dan cuka sebenarnya mirip, hanya berbeda bakterinya saja. Jadi dimana kita menemukan cuka tradisional, disitu juga sebenarnya ada minuman beralkohol tradisional, hanya mungkin sudah punah. Mengenai aspek sosialnya seperti 'mabuk', dari sisi kimia saya hanya bisa berkisah soal enzim alkohol dehidrogenase di hati dan pengaruh kadar alkohol tinggi dalam darah terhadap syaraf. Sementara rekan-rekan antrop bisa membahas secara mendalam dari ciri2 mabuk sampai dampak sosial historisnya. Dalam hati saya iri juga, bagaimana kawan2 antrop punya bahan penelitian yang jauh lebih kaya dari hanya sekedar molekul saja!

Akhir acara ditutup dengan pertanyaan Pak Raymond yang menggelitik: "Apakah mungkin orang yang mabuk mampu berkomunikasi dengan mahluk gaib karena frekuensi mereka sama dengan alam gaib?" Semua orang tertawa dan saya tidak sempat menjawab karena waktunya habis. Namun, saya teringat obrolan dengan Pak Erik Kartanegara dari keluarga pemilik Tape Uli Cisalak sejak 1960an. "Entah mengapa, pada saat akan ada kedukaan di keluarga kami, proses fermentasinya selalu gagal Pak. Semua menjadi asam, tidak ada yang manis!" Katanya. Apakah Malaikat Maut mampu menginhibisi pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae sehingga Lactobasillus tumbuh pesat lalu membuat tape jadi asam? Wallahualam.

Terima kasih teman-teman Antropologi UI yang sudah mengundang saya. Yuk, kita sambungkan tali silaturahmi sehingga sains dan ilmu sosial kita semakin maju!

Salam,

Harnaz